Selasa, 04 Agustus 2020

Kau benar aku yang bodoh


Butuh berpuluh kali kedip mata untuk aku memulai kalimat ini, untuk menulis surat ini. Sama rasanya butuh berkali-kali waktu untuk aku meyakinkan diri, bahwasanya ke kau, aku ini bukanlah siapa-siapa. Aku ini bebal dalam memahami sikap. Perhatianmu itu menyeretku, menghanyutkanku. Aku ini lemah akan kebaikan, sebab segala sesuatu yang baik kumaknakan cinta. Matamu itu, yang pernah dengan lembut menatap mataku, kuartikan bahwasanya cinta itu, pasti ada.

Pernah aku merasa terjebak, sendirian. Terperangkap dalam sebuah kisah yang menghadirkan kau. Tetapi itu ilusi, kupikir cinta yang sedang dimabuk-mabuknya adalah kokain dengan dosis yang tinggi. Kau itu tidak betul-betul ada. Pikiranku, atau mungkin hatiku, yang membuat kau seolah-olah turut menjadi bagian dari patah hati yang, mungkin sedikit saja ini.

Ya, aku mengaku. Ke kau, aku tak mampu untuk biasa-biasa saja. Selalu aku menganggap, aku ini kaucintai. Masih saja aku menganggap, kepadaku kau memberi, untuk yang satu-satunya pemberian terbaik. Selalu aku, dan masih saja, kumengaku, itu adalah kebodohan. Cinta itu menjadi definisi bodoh karenaku. Aku membiarkan diri terlarut, menikmati. Aku menikmati caramu membuat aku merasa dicintai. Padahal tidak, kutahu memang tidak. Tetapi sudah kubilang, aku menikmati. Dan itu bodoh sekali.

Sudah sekuat tenaga aku memaklumi kehilangan. Persetan dengan pantas atau tidak aku menyebutnya kehilangan atas sesuatu yang tak benar-benar aku miliki. Aku bahkan telah menebak, atau memang seharusnya harus kupahami, cepat atau lambat, ini pasti terjadi. Aku hanya belum siap, butuh waktu. Dua kali lipat aku membenci, ketika tiba-tiba kau datang lagi. Sudah kuterka, ini akan menjadi kehilangan yang lainnya, yang rasa sakitnya kurang lebih sama.

Aku ini tak mengapa kau buat demikian. Tetapi tolong, janganlah kau datang lagi saat aku sudah mulai memaklumi sebuah kepergian. Itu berat.


Aku,
Yang masih baik-baik saja


Cianjur 04 agustus 2020