Nadi tak dapat menerka, apakah darah-darah kental mencintainya.
Yang ia tahu, selalu ada ruang bagi hal-hal baik.
Jiwaku sudah lama tak tinggal di sini.
Tubuh yang masih mencintainya lewat napas dan doa-doa.
Ia pulangkan segala kecemasan pada petang yang dingin dan beku.
Ia kembalikan riuh nyawa dan kematian yang tertunda pada esok hari.
Seseorang di kejauhan menampung kematianku di tubuhnya.
Ia kurus dan matanya besar.
Matanya hitam pudar melahap kekhawatiranku ia tahu jiwaku telah pergi ke tubuhnya.
Akan ia jaga baik-baik kematian itu.
Ketika hari dan langkah-langkah jauh yang tergesa sudah melepas batas jiwa dan tubuh yang ditinggalkan.
Tak didengar eulogi itu oleh kesunyian nadi.
Ia adalah debar yang dibenamkan dalam-dalam pada bak benuh pasir dan kerikil-kerikil.
Ia melebihi sunyi pukul dua pagi ketika cangkir kopimu berdenting di balkon loteng lantai tiga.
Kematianku tiba terlambat di dalam tubuh seseorang.
Ia selalu seperti kopi dingin yang dibiarkan.
Tidak ada kecapan.
Tidak ada pahit yang mungkin lebih diterima.
Yang datang hanya penyesalan.
Aku mati jauh lebih dulu, dari kematianku yang lain di dalam tubuh seseorang.
Cianjur 26 juli 2020